Artikel ini pertama kali terbit di visualjalanan.org pada 30 Maret 2023
Beberapa hari sebelum pameran tunggal “Outside In”, beberapa teman saya mengunggah sebuah postingan di Instagram Story mereka tentang sebuah rumah makan di Samarinda yang mendapat surat dari pemerintah kota perihal penutupan tempat usaha mereka dengan berbagai alasan, di antaranya adalah karena tempat usaha tersebut berada di atas trotoar di persimpangan jalan besar yang merupakan jalan utama Kota Samarinda. Hal ini membuat keberadaan warung tersebut dianggap mengganggu estetika kota oleh Pemerintah Kota Samarinda. Banyak netizen yang memberi simpati kepada pemilik rumah makan dan menyayangkan keputusan yang diambil pemerintah. Netizen menganggap begitu banyak permasalahan di Kota Samarinda yang jauh lebih penting ketimbang urusan tersebut.
Berbicara mengenai kota Samarinda dan segala macam urusan estetikanya, pada malam minggu di akhir bulan Agustus 2022, pameran tunggal pertama seorang street artist dari Kota Samarinda bernama Sena Sanubari dibuka. Pameran tunggal ini diadakan di Kedai Kopi Muzzle. Kata ‘SENA’ tentu tak asing bagi warga Samarinda. Banyak karya yang dihasilkan oleh Sena menghiasi sudut-sudut kota Samarinda. Pameran yang dikuratori oleh Samar Project ini mencoba melihat kembali produk visual yang ada di ruang terbuka Samarinda melalui kacamata Sena sebagai seniman.
Sebagai seorang seniman grafiti, ia terbilang sangat produktif. Sejak 2011 hingga saat ini, terdapat ratusan tagging SENA yang dapat ditemui di Samarinda dan sekitarnya. Ini dapat dilihat dari salah satu instalasi di pamerannya yang berupa pemetaan tempat-tempat di mana tagging SENA berada.
Sebuah peta Kota Samarinda yang tertancap push pin di hampir seluruh area.
Kurang lebih terdapat 38 push pin tertancap di sebuah peta kota Samarinda. Push pin tersebut terlilit dengan benang berwarna merah lalu terhubung ke sekitar 50-an foto yang ada di samping kiri, kanan, dan bawah peta. Foto-foto tersebut adalah dokumentasi arsip grafitti Sena yang ia kumpulkan selama beberapa tahun dan tersebar di hampir seluruh wilayah Kota Samarinda. Bila melihat foto-foto itu, kita akan melihat throw-up dan tagging SENA di berbagai macam medium dan medan. Salah satunya ialah pada dinding bawah fly over jembatan Mahakam IV yang berukuran tinggi 2,5 meter dan lebar 3 meter dan pada bangkai badan Pesawat SMAC (Sabang Marauke Air Charter).
Arsip karya yang dikumpulkan oleh Sena tidak hanya berupa foto, namun juga berupa lebih dari tiga ratusan kaleng cat semprot bekas. Ada juga sekitar empat puluhan kaleng cat yang ia pisahkan sendiri karena setiap kaleng mempunyai nilai historis yang berbeda-beda. Arsip sketsa-sketsanya pun masih disimpan. Dari situ, kita dapat melihat berbagai jenis teknik grafiti yang biasa ia gunakan, seperti bubble, throw–up, dan roll–up.
Kaleng cat semprot bekas yang disimpan Sena
Dari arsip-arsip tersebut, kita juga bisa melihat bahwa Sena mempunyai kesadaran untuk mendokumentasikan karya-karya yang ia buat di jalanan. Ini juga didorong oleh kesadaran bahwa, selain karena perebutan kuasa di jalanan membuat karya seni di ruang publik berumur pendek, material cat semprot di luar ruangan tidak akan tahan lama dengan cuaca dan iklim tropis.
Sketsa-sketsa SENA
Kesadaran arsip ini, walaupun tentu menyimpan kepentingan individu si seniman, berjalan beriringan dengan tagging yang Sena lakukan di dinding-dinding Kota Samarinda. Keduanya bersifat politis. Di antara papan-papan reklame produk jualan dan partai politik, tagging SENA, yang adalah nama si seniman, menjadi penting. Sebagai warga, ia meletakkan dirinya sendiri di tengah-tengah pertarungan kuasa di jalan, di tengah-tengah otoritas lain, seperti kapitalis dan politikus.
Gagasan tersebut juga sebenarnya dapat dialami penonton di pameran tunggal Sena. Di pameran tersebut, terdapat sebuah instalasi berupa Televisi dan Playstation. Gim yang disediakan untuk pengunjung adalah Marc Eckō’s Getting Up: Contents Under Pressure. Pengunjung diajak untuk memerankan tokoh Trane, seniman amatir yang menjadi tokoh di gim tersebut. Trane menggunakan grafiti sebagai bentuk protes terhadap Kota Orwellian yang mengalami distopia dan korup. Perebutan ruang juga terjadi ketika Trane berhadapan dengan seniman dan otoritas yang lain. Gim ini menginspirasi Sena dalam berkarkya, dari gaya visual hingga penentuan tempat yang akan ia gambar. Jika di gim tersebut Trane menggunakan cat semprot dan stiker untuk membuat throw–up dengan berbagai gaya, Sena mengeksplorasi lebih jauh lagi medium karyanya melampaui apa yang ada di gim. Hal tersebut bisa kita lihat dari beberapa karyanya yang lain, seperti sebuah karya yang ia buat pada tahun 2018. Karya tersebut dibuat dengan material plywood dan dikombinasikan dengan uang pecahan Rp1.000,00 berjumlah 218 lembar. Kemudian, ada karyanya yang lain yang dibuat dari empat rambu jalan yang ia modifikasi dengan teknik masking.
Di hari terakhir pameran Sena bekerjasama dengan Sindikat Sinema menayangkan dua film yang berkaitan dengan street art. Tupinamba Lambido (Lucas Parente, Brazil, 2019) dan Inside Out: The People’s Art Project (Alastair Siddons, Perancis, 2013).
Pameran “Outside In” berlangsung selama sepuluh hari dan mendapat sambutan yang cukup antusias dari kalangan muda di Samarinda
Leave a Reply