Meluangkan waktu untuk ‘merasakan’ objek dalam musik seperti manuskrip, instrumen dan rilisan fisik lainnya yang terkait dengan produksi musik dianggap sebagai salah satu proses untuk memahami musik itu sendiri. Namun akhir-akhir ini ketergantungan yang semakin besar pada media digital memisahkan musik dari materi yang bersifat tangible atau ‘terasa’. Selaras dengan hal ini, diskursus yang membahas tentang relasi antara musik dan budaya material menjadi semakin relevan untuk dibahas. Pertanyaan-pertanyaan tentang nasib rilisan fisik dan bagaimana nasib toko musik independen ‘brick & mortar’ pun tak lagi bisa diabaikan. Dengan urgensi untuk menanggapi digitalisasi dan korporatisasi industri musik pada era ini, tulisan ini mencoba untuk membahas tentang seberapa signifikan budaya material dalam musik berdasarkan konteks ‘the role of senses and signs’ dirilisan fisik pada Record Store Day Samarinda 2021 dan pengaruhnya terhadap banyaknya wacana saat ini yang membingkai kepunahan toko musik independen.

Sejauh ini, kita percaya bahwa musik lahir dan hidup melalui aspek yang tersentralisasi pada konsep materialitas seperti produksi, distribusi dan konsumsi didalamnya. Namun pada era digital, semua teori dan konsep yang membahas tentang kelahiran dan kehidupan “musik” menjadi semakin abstrak dan tidak tertarik pada materialitas selama perkembangannya. Manuskrip, instrumen, dan artifak dalam musik yang sebelumnya bersifat tangible pun menjadi semakin tidak ‘terasa’. Pada titik ini, saya merasa penting untuk membahas tentang fungsi senses & signs dalam musik untuk tetap menjaga jembatan yang menghubungkan konsep materialitas dan mentalitas dalam musik. 

Hsu dalam bukunya menyebutkan bahwa,“the basic idea would be that the senses & signs mediate between the outer material world and the inner mental world”. Senses tidak hanya hadir untuk mengangkut realitas objektif langsung ke pikiran kita tetapi juga ada aspek interaksi sosial yang entah bagaimana mempengaruhi realitas tersebut. Interaksi sosial hadir sedemikian integral sehingga kita sendiri tidak dapat membedakan antara apa yang dikatakan indra kepada kita dan apa yang dikatakan keadaan sosial kepada kita. Melalui pemahaman tersebut, saya percaya bahwa orang melakukan hal-hal tertentu karena interaksi sosial mereka terstruktur dengan cara tertentu oleh senses mereka dan signs yang ada disekitar mereka. 

Musik dalam hal ini dipengaruhi atas dua dunia yang disebut Hsu, interaksi sosial di era digital menghadirkan pengalaman menikmati sebuah karya musik yang lebih mudah diakses, namun pengalaman yang diberikan hanya akan terbatas pada dua indera saja (penglihatan dan pendengaran). Disatu sisi, kemudahan tersebut membuat pengalaman menikmati musik menjadi stagnan dan kehilangan aspek material didalamnya. Pada titik ini penting bagi kita untuk melihat sebuah karya musik dalam ruang lingkup yang lebih luas. Melihat musik dalam ruang yang lebih luas membuat saya sadar bahwa sebuah karya musik merupakan sebuah satu kesatuan objek yang terdiri atas banyak aspek material didalamnya. Pengalaman membuka kotak CD/Kaset, mencium bau dari kertas CD kemudian menyimpannya dalam satu rak khusus membuat pengalaman menikmati karya musik menjadi terasa lebih eksklusif. Karya musik yang dirilis dalam bentuk fisik juga memberikan legitimasi yang lengkap dan riil kepada si Artis. Kesimpulannya, Materialitas dalam musik akan punya tempat di era digital jika sebuah karya musik memberikan pengalaman yang eksklusif dan dapat dinikmati melalui seluruh panca indera penikmat musik. Materialitas dalam musik yang dilihat melalui cara ini akan menjadi lebih bernuansa dan objek dalam musik yang bersifat material pun akan bisa terus hidup. 

Selain karya musik yang berbentuk fisik, ruang-ruang seperti event dan toko musik independen merupakan beberapa aspek penting yang menopang keberlangsungan aspek material dalam industri musik. Ditengah-tengah pandemi, kehadiran Record Store Day Samarinda 2021 membangkitkan kembali gairah saya untuk melakukan interaksi tatap muka dan komunikasi antarpribadi yang lebih intens dalam setiap seluk beluk ruangnya. Momen tersebut mengingatkan saya dengan keadaan ketika saya datang pertama kali ke toko musik independen ‘brick and mortar’. Gelaran ini membuat saya sadar bahwa fungsi ruang fisik toko musik independen tidak hanya menjadi ruang yang mengakomodasi penjualan karya musik dalam bentuk rilisan fisik para musisi tapi juga menjadi penghubung subkultur ke skena dan komunitas lokal yang lain. Konsep penghubung subkultur ini menurut saya juga secara aktif menghubungkan subkultur ke visi dan kepentingan lain antara komunitas lokal. Koneksi antara kepentingan ini terjadi dengan memposting selebaran flyer acara, menjual karya musik lokal, serta terlibat dan berjejaring dengan toko musik lain. 

Selain itu, RSD Samarinda 2021 juga menyediakan outlet sosial yang penting bagi penikmat dan pelaku musik, dimana saya yang datang sebagai penikmat bisa secara terbuka mendiskusikan tentang perkembangan musik, skena, serta budaya lokal maupun global dengan pelaku musik. Gelaran seperti RSD tahun ini merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi karena saya sadar bahwa pengalaman dalam menikmati musik harus dibuka dalam ruang yang lebih luas dan dirasakan melalui seluruh indera yang dimiliki. Kami juga berinteraksi dalam ruang yang lebih intim. Oh iya, perlu dicatat bahwa pengalaman saya tersebut sering didapatkan di luar industri musik yang dominan (industri yang terkorporitasi dan digitalisasi). 

Wacana tentang kepunahan toko kaset independen sendiri lahir karena adanya ‘peperangan’ antara fungsi toko kaset independen sebagai penghubung subkultur dengan budaya enterpreneurship yang dibuat untuk membentuk dan memperkuat status quo ekonomi satu toko. Tentu saja peperangan ini dibuat dan dibentuk oleh budaya dominan. Peperangan ini akhirnya dimenangkan oleh budaya enterpreneurship karena tidak dapat dipungkiri bahwa toko kaset independen dan budaya yang terkait didalamnya membutuhkan budaya enterpreneurship untuk memperkuat merek “independen” mereka sendiri. Namun dengan melakukan hal ini toko musik independen kehilangan fungsinya sebagai penghubung subkultur. 


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *