Dibentuk sekitaran 2018, komunitas ini punya misi untuk bisa menyatukan para barberman (sebutan tukang cukur barbershop yang ada di kota Samarinda. Konkretnya, menjadi wadah bertukar pikir ihwal meningkatkan kemampuan barberman (sebutan tukang cukur). Di sisi lain, komunitas ini ingin membangun ekosistem bisnis barbershop yang sudah mulai tumbuh subur di kota Samarinda sejak 2015an. Seperti apa proses pertukaran skill dan mengelola ekosistem Barbershop ini diberlangsungkan di tengah perilaku dan sistem sosial masyarakat kota Samarinda yang dinamis, realistis dan pragmatis?
BTS volume 2 yang diselenggarakan di DMB Barbershop, Samarinda, hari itu boleh dianggap penting oleh para khalayak komunitas barbershop Samarinda, barangkali se-Kalimantan Timur. Sebab tema yang diusung adalah seputaran peran komunitas dalam pengembangan industri barbershop ataupun sebaliknya. Sekitaran tema dan pertanyaan inilah, tulisan ini hendak mengulik bagaimana irisan komunitas dalam industri barbershop di Samarinda kini serta apa saja yang lahir dari irisan itu.
Barbershop: Asih-Asuh Komunitas Bisnis
Sedari awal penyebutan Barbershop, dilekatkan kepada para praktisi cukur biarawan di Eropa yang dituntut hidup sehat dan berpenampilan bersih setiap saat. Selain pandai memotong rambut, para pencukur juga lihai dalam pengobatan sedot darah, yang diniscayai mampu mengeluarkan darah kotor dalam tubuh serta cabut gigi. Pada 1096, di Prancis sama seperti pedagang dan perajin, Tukang cukur pada Abad Pertengahan di seluruh Eropa membentuk serikat. Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan serikat tukang cukur ini pun semakin merebak hingga ke Inggris pada 1308.[1]
Pertumbuhan yang pesat ini, nyatanya dibarengi dengan pengelolaan pemenuhan kelayakan bagi para tukang cukur di Era itu. Aturan yang dibelakukan pun selanjutnya untuk menyaring kategori ahli bedah dan ahli cukur, yang pada akhirnya dicirikan dengan simbol; putih merah menandakan ahli bedah sedangkan putih merah biru menandakan ahli cukur. Dari penanda ini, dimungkinkan bahwa itu bukan saja sebagai pengkategorisasian, tapi juga praktik yang mengarah ke pengelolaan. Pengelolaan yang dikerucutkan sesuai spesialisasi keahliannya.
Perkembangan dan pertumbuhan Barbershop yang berlangsung di Samarinda, mungkin saja meneruskan pola pengelolaan dari awal kemunculannya, seperti yang disebut di atas. Sebab, kelayakan atau standarisasi−barangkali tukang cukur−juga diberlakukan, meskipun jauh dari kata ideal atau tersertifikasi legal oleh induk organisasi tertentu. Namun begitu, di sinilah letak menariknya, bahwa sistem sosial mampu dibentuk oleh sekelompok individu, yang tumbuh-berkembang tidak secara kebetulan, tapi sesuai dengan standar dan nilai kesepakatan kolektif anggota masyarakatnya. Masyarakat yang dihidupi-menghidupi industri barbershop. Lebih lanjut, masyarakat kota yang memiliki karakter ikatan secara sukarela, semakin menebalkan perihal nilai kesepakatan atau standar yang mereka sepakati bersama. Ini karena, karakter masyarakat perkotaan menginginkan untuk menggabungkan dirinya pada suatu perkumpulan (organisasi) yang disukainya, secara sukarela. Meskipun hanya terbatas pada hubungan organisasi saja, tapi masyarakat perkotaan masih mengutamakan perkumpulan/hubungan dengan orang lain.[2]
Upaya mengumpulkan tenaga ahli cukur melalui Barber Terror Syndicate akhirnya dimaknai menjadi penting untuk dilakukan di tengah pertumbuhan kota Samarinda, yang konon menjadi pusat peradaban. Selain ingin diakui, barangkali eksistensi dan organisasi komunitas adalah urgensinya. Sebab, dalam konteks kota, komunitas memegang peranan penting dalam pemajuannya. Komunitas mampu menjadikan kota terlihat dinamis berkat konsistensinya yang konstan, menyajikan tawaran yang tidak itu-itu saja. Pertanyaan selanjutnya, sejauh apa komunitas mengambil peran dalam perkembangan Barbershop hari ini?
Barbershop: Suaka Komunitas Bisnis
Keberadaan Barbershop modern barangkali sudah mengambil posisi dalam dinamika sosial-kultural yang terus tumbuh pada wilayahnya. Perkembangannya yang memang dihuni oleh beberapa kumpulan orang saja, menunjukan betapa Barbershop sekaligus menjadi ruang pertukaran informasi aktual antar individu. Artinya, Barbershop bukan saja tempat “berdandan” bagi para pria yang ingin menjaga tampilannya.[3] tapi juga menjadi wadah untuk membicarakan isu-isu bersama, sesuai konteksnya. Dari sini, dimungkinkan mampu menguatkan kesadaran kolektif terhadap persoalan yang terjadi, baik lingkup lokal maupun global.
Biasanya, mereka kerap nongkrong berjam-jam untuk membicakan seputaran hal yang dirasa penting untuk dibicarakan. Bukan untuk membatasi menjadi eksklusif, tapi tentu saja mereka juga butuh ruang aman, membicarakan hal-hal yang terkesan sensitif ataupun progressif untuk publik. Sebab, identitas mereka dalam struktur sosial, juga terkait dengan relasi kuasa yang beredar. Mereka sebagai bagian dari masyarakat sosial, berhak menuntut transformasi struktur sosialnya. Maka itu, mereka ini yang memiliki budaya material, mampu membangun identitas baru yang mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat. Sehingga secara posisi, mereka setara dalam berujar, yang berangkat kesadaran bersama.
Berangkat dari kesadaran kolektif ini, lantas sekumpulan orang yang disebut komunitas, mulai mengambil perannya untuk melakukan sesuatu, yang sekiranya mampu memberikan kontribusi nyata, baik secara gagasan maupun tindakan. Sejauh yang tampak di Samarinda perannya memang masih untuk komunitas Barbershop itu sendiri, walaupun peran lain dalam konteks pengabdian juga pernah dikerjakan. Meski demikian, peran komunitas luar yang hidup di antara Barbershop, sesungguhnya dimungkinkan untuk turut andil dalam perkembangannya. Bukan hanya sebagai pendukung, melainkan kolaborator yang mampu melihat persoalan dengan konteksnya untuk dikemukanan, dipertanyakan dan dijawab secara bersama.
Leave a Reply