Jika skateboard lahir dan berkembang di ruang kota, maka sulit menyangsikan bahwa kebebasan skateborder adalah kebebasan warga atas ruang kotanya. Sebab, kota bukan hanya tempat untuk bekerja dan berbelanja tapi tempat kesenangan sejati. Tempat di mana tubuh, emosi, dan energi manusia dapat diekspresikan sepenuhnya. Lalu bagaimana memaknai kebebasan skateboarder sebagai ekspresi warga kota, khususnya Samarinda. Ekspresi apa saja yang muncul dan bagaimana relasinya kota. Tulisan ini mencoba mendedah pertanyaan di atas berdasarkan konteks ruang kota dan artefak yang dihadirkan dalam karya video pendek dan karya visual pada mini eksibisi Instinct Co x Sluyut Mendesis, yang telah berlangsung beberapa pekan lalu.
SKATEBOARDING:
EKSPRESI DARI RUANG KOTA
foto @ordinaryboy
Sekilas, ketika membicarakan skateboarding, umumnya percakapan yang muncul sangatlah universal. Percakapan yang hanya seputaran gaya hidup anak muda vandal dengan segala kebebasannya. Sebab, hal yang diketahui khalayak umum, skateboard adalah budaya tandingan, perusak properti publik dan gangguan umum masyarakat. Analoginya, seperti kita membicarakan negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau dalam ilmu pengetahuan umum, yang sangat umum juga untuk diketahui. Padahal ada hal-hal lainnya yang menarik di luar hal itu.
Skateboarding adalah sebuah olahraga populer dengan pengikut yang setia, bahkan mereka bisa di bilang mampu berkomitmen. Skateboarding merupakan gabungan unik antara eksplorasi, komunitas, tantangan dan kebebasan berarti. Mereka (skaters) bebas menjelajahi perkotaan sesuka mereka sambil berolahraga. Mulai dari mengacak-acak obstacle yang dianggap stopper benda hidup, melompati fasilitas publik di trotoar jalan, hingga berkelit dari kejaran petugas meski kadang masih bisa dinegosiasikan adalah serangkaian ekspresi mereka di ruang publik. Ekspresi yang menginginkan hak memiliki yang sama dengan warga kota lain terhadap ruang publik, seperti bermain skate di fasilitas ruang publik, yang mereka (publik) lakukan untuk duduk di atasnya. Mari kita lihat pandangan ini dengan konteks ruang kota di Samarinda.
Samarinda, sebagai sebuah kota, telah banyak mengalami perubahan landskap ruang seturut dengan rezim yang terus berubah. Arsitektur ruang kota yang seyogyanya dirancang sebagai representasi kota, sesungguhnya hanya dirancang untuk kalangan dan kepentingan tertentu. Alih-alih sebagai titik kumpul ekspresi dari warganya yang heterogen, ruang kota Samarinda justru medan kontestasi antar warganya sendiri. Namun dari sinilah kita dapat melihat skateboarding sebagai salah satu bentuk eskpresi warga itu muncul. Skateboarding mampu menghidupkan ruang kota Samarinda yang temaram, usang, dan terlantar. Sebab, ekspresi, kepuasan, partisipasi dan komunitas adalah yang paling bernilai dalam skateboard. Jadi, dari sini bisa saja kita keliru, bahwa ketenaran, kekayaan, kemenangan atau status tertentu adalah yang mereka perjuangkan selama ini.
Relasi Skateboarding Dengan Ruang Kota
foto @ordinaryboy
Banyaknya anggapan awam seperti yang sudah disebut di atas, ternyata diikuti oleh perancang arsitektur kota, yang masih menerapkan konsep eksklusi dengan memprioritaskan satu kelompok tertentu. Maka tidak heran, dari sini muncul ketegangan, kritik hingga membatasi kreativitas warga kota. Padahal menurut Ocean Howell, seorang profesor di University of Oregon, memasukkan skateboarder ke ruang publik dapat pengaktifan kembali komunitas. Sebab, mereka dapat mengaktivasi ruang publik secara bebas. Menurut Iian Borden, “arsitektur adalah eksternal dan internal untuk skateboard. Kehadiran konkretnya menjadi satu sama yang lain, yang dapat diakses oleh aktivitas fisik pemain skateboard-terpisah, namun dibawa ke dalam, tindakan skateboard”. Artinya relasi skateboard dengan ruang kota yang dirancang secara eksklusi maupun inklusi tidak terpisahkan, bahkan bisa sangat diaklektis. Sehingga ruang dan tubuh dapat diinternalisasikan satu sama lainnya.
Pun secara historis, skateboarding tumbuh atas kehendak para peselancar yang ingin berselancar di trotoar jalan sebagai gelombang baru di antara popularitas selancar di 1940an. Maka mulai bermunculan ide memodifikasi papan seluncur sesuai medannya. Perubahannya mencerminkan ruang di mana riders berusaha untuk meluncur. Jadi sudah barang tentu, bahwa dari ruang itulah beragam macam bentuk skateboard lahir.
Kemunculan Skateboarding di Samarinda juga tidak lepas dari ruang di mana riders berusaha untuk berseluncur. Tatkala ada ruang yang menantang untuk dijelajahi seperti, jalanan, trotoar, taman, serta fasilitas publik lainnya, ruang itulah yang membentuk-dibentuk para skateboarder. Ruang yang terbentuk menjadi ruang kebebasan warga atas ruang kotanya. Sebab, ruang kota bukan hanya tempat untuk bekerja dan berbelanja tapi tempat kesenangan sejati. Tempat di mana tubuh, emosi, dan energi manusia dapat diekspresikan sepenuhnya.
KARYA VISUAL: EKSPRESI BUKAN YANG MUSTAHIL
foto sluyut
Sluyut Mendesis adalah sebuah kolektif skateboarder asal Samarinda dengan visi skate for fun dan tertarik pada kultur skateboard. Komunitas yang berdiri sekitar 2016an ini menyelenggarakan hajatnya di luar kandang, dengan membuat acara pemutaran premiere video dan “mini exhibition” di Ruang Antara DMB Barbershop & Makanjons, 30 April 2021 lalu. Tidak ada judul apalagi tema dalam acara tersebut. Mungkinkah ini bagian dari konsep acaranya? Seberapa pentingnya “pameran” ini dalam ranah skateboard.
Iain Borden dalam bukunya Skateboarding and the City: A Complete History” menyebut, “perkembangan skateboarding sejak 50an, tidak mustahil untuk memasukan setiap karya seni skate, kompetisi, local scene, rider, skatepark, ska-tespot atau video yang pernah terlibat”. Terlepas dari kata memasukan di sini yang merujuk pada argument bahwa pentingnya dari buku yang ia tulis itu, namun dari sini kita bisa melihat, di luar perkembangan skateboarding hari ini dengan segala konteks yang mengitarinya, karya dokumenter dan seni visual juga menarik untuk diperbincangkan. Setidaknya ia merupakan artefact yang lahir dari ideafact dan sosiofact.
Setidaknya hampir lebih dari 50 karya yang dipajang, menawarkan kualitas visualnya masing-masing. Aliran pop sangat kentara hampir pada seluruh karya dan yang membedakan hanya gaya visualnya. Ada yang bermuatan personal hingga kolektif dengan teknik hand drawing hingga digital drawing, lukis kanvas hingga cukil. Bundle “Sluyut Zine” yang mengambil konsep fun zine, secara lengkap turut dipajang sebagai penanda bahwa mereka memang memasukan dan mengarsipkan pengetahuan kehidupan skateboard, dengan latar minimnya keberadaan zine skateboarding di Samarinda. Jadi seperti yang dikatakan Iain Borden di atas, bukan hal yang mustahil memasukan dan membahas sisi kehidupan skateboard. Namun demikian, dari seluruh presentasi yang dihadirkan, mestinya ada kejelasan alur/dramaturgi dan narasi yang ingin disampaikan. Setidaknya hal inilah menjadi dasar agar publik awam tahu apa substansi yang ingin disampaikan melalui pameran ini. Jika boleh kami membaca, karya video dan beberapa karya visual yang “dipamerkan”, hendak merangkum secuil aktualisasi bagaimana tubuh, emosi dan energi “warga” diekspresikan dalam ruang kota. Bukan yang mustahil serangkaian karya seni skate, kompetisi, local scene, rider, skatepark, ska-tespot atau video yang pernah terlibat dipresentasikan. Sebab, ia adalah bagian dari kehidupan budaya skateboard itu sendiri
Leave a Reply